Kang Je-gyu, sutradara asal Korea Selatan, kembali dengan film terbarunya berjudul Road to Boston. Film bertema olahraga ini menceritakan tentang perjuangan tim maraton Korea untuk ikut serta dalam Olimpiade sebagai negara merdeka (bukan di bawah bayang-bayang Jepang). Namun untuk menuju ke sana, mereka harus menorehkan nama di kancah internasional terlebih dulu, salah satu caranya adalah dengan ikut serta dalam ajang lari maraton di Boston, Amerika Serikat.
Cerita tentang perjuangan dan nasionalisme bukan hal baru bagi Kang Je-gyu, sutradara yang sebelumnya dikenal dengan film-film perjuangan bertema perang seperti Shiri (1999), Taegukgi (2004) dan My Way (2011). Melalui Road to Boston, rasa nasionalisme yang kental kembali terlihat. Terlebih lagi, film ini diangkat dari kisah nyata.
Road to Boston mengambil waktu di tahun 1947, tahun diselenggarakannya ajang lari maraton Boston International Marathon 1947. Kompetisi internasional ini adalah pertandingan lari maraton pertama yang diselenggarakan setelah Perang Dunia ke-2.

Aktor muda Korea Selatan, Im Si-wan dipilih untuk memerankan sosok Suh Yun-bok, sementara aktor senior Ha Jung-woo didaulat untuk memerankan sosok pahlawan nasional Olimpiade Sohn Kee-chung. Selain mereka berdua, tampil pula Bae Seong-woo sebagai Nam Sung-yong dan sederatan nama aktor lainnya.
Untuk sebuah film yang mengangkat tema olahraga, Road to Boston telah berhasil menjalankan misinya dengan sangat baik. Olahraga dan perjuangan terlihat begitu lekat dan saling mendukung satu sama lainnya, sehingga membuat film ini punya kekuatan yang cukup untuk melaju.
Alur ceritanya terjaga rapi, dengan transisi adegan yang cukup enak untuk diikuti. Sebagai penonton, saya diberikan waktu yang cukup untuk mencerna ceritanya, tanpa harus banyak berpikir, karena film ini minim sekali narasi, sehingga sebaain besar situasinya dijelaskan melalui visual dan dialog.
Menurut saya, hal tersebut menjadi cukup efektif, sehingga tidak banyak durasi yang terbuang untuk adegan-adegan yang tidak penting atau bertele-tele. Beberapa momen krusialnya pun disajikan melalui visual dengan iringan scoring yang pas sekali.

Membahas sinema Korea Selatan, tentunya tidak lepas dari dramatisasi. Hal ini juga saya temukan di film Road to Boston. Drama yang disajikan cukup menyentuh, terutama ketika menceritakan kisah hidup Suh Yun-bok yang harus berjuang mencari uang untuk biaya pengobatan Ibunya.
Selain itu, sisi lain dari porsi drama ini juga diberikan kepada karakter Sohn Kee-chung yang sepanjang hidupnya dielu-elukan sebagai pahlawan Korea karena telah memenangkan Olimpiade. Sayangnya, kebanggan tersebut menjadi coretan hitam dalam hidupnya, karena dirinya bertanding atas nama Jepang, bukan Korea.
Dua konflik utama tersebut menjadi bensin untuk menggerakkan film Road to Boston, dan hasilnya tidak mengecewakan. Haru dan bahagia campur aduk menjadi satu di film ini. Apalagi dengan diperlihatkannya adu akting yang berkelas, sehingga menambah keseruan saat menonton.
Atmosfer tahun 1947 dalam film ini digambarkan dengan cukup akurat, setidaknya bila dibandingkan dengan foto-foto sejarah yang bisa ditemukan di internet, mulai dari gaya rambut para karakternya, jenis pakaian yang dikenakan, kendaraan, hingga kondisi bandar udara internasional yang masih sangat kuno. Tim produksi dan riset film ini telah bekerja dengan sangat baik.
Kesimpulannya, Road to Boston adalah sebuah film sejarah yang sangat menghibur, dengan sajian nasionalisme yang dalam, serta momen haru dan bahagia yang silih berganti mengaduk-aduk emosi saya ketika menontonnya. Sebuah film olahraga yang solid, dengan pesan perjuangan yang kuat.
Film Road to Boston akan segera tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 4 Oktober 2023.